ZAKAT, POTENSI PENDAPATAN NEGARA YANG TERABAIKAN

Oleh: Achmat Subekan, S.E., M.Si.

(Widyaiswara BDK Makassar)

A.   Pendapatan Negara

Negara membutuhkan dana untuk membiayai operasional yang dilaksanakannya. Untuk mendapatkan dana tersebut, setiap negara memiliki andalan pendapatan yang berbeda-beda. Hal ini sangat ditentukan oleh potensi yang dimilikinya. Negara yang memiliki potensi sumber daya alam tinggi akan mengandalkan potensi tersebut dalam menutupi kebutuhan dana bagi anggaran negaranya. Berbeda halnya dengan negara yang tidak memiliki potensi sumber daya alam yang kuat/besar, mereka akan berusaha mencari sumber pendanaan lainnya

Sumber daya alam merupakan karunia Tuhan yang sangat besar manfaatnya. Bagi sebuah negara, sumber daya alam tak ubahnya sebagai harta karun yang siap untuk diambil, diolah, dan dimanfaatkan. Kendatipun sangat menggiurkan, sumber daya alam tidak dapat digunakan untuk menopang kebutuhan pendanaan anggaran secara terus-menerus. Lama-kelamaan potensi alam tersebut akan habis dan Negara harus mencari sumber pendanaan yang baru. Di samping itu, ekploitasi dan eksplorasi sumber daya alam akan menyisakan terganggunya dan rusaknya lingkungan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap daerah pertambangan suatu saat akan berubah menjadi daerah dengan kerusakan lingkungan yang tinggi. Biaya untuk mengembalikan kesempurnaan ekosistem pun tidak sedikit.

Sumber pendapatan negara yang lainnya adalah pendapatan yang bersumber dari iuran warga negara. Sumber pendapatan ini tidak bergantung pada keberadaan sumber daya alam di negara bersangkutan, tetapi bergantung pada tingkat kemakmuran atau kesejahteraan warga negaranya. Dengan demikian, pendapatan ini juga menjadi indikator terhadap kemajuan perekonomian sebuah negara. Semakin tinggi iuran warga negara terhadap anggaran negara menunjukkan tingginya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran mereka.

Dewasa ini, pajak sebagai wujud dari iuran warga negara merupakan andalan dalam mendukung anggaran negara. Dari tahun ke tahun, dominasi pajak dalam membiayai anggaran negara sangat terasa apabila dibandingkan dengan sumber pendapatan negara yang lainnya. Sebagai gambaran, di tahun 2011, kontribusi pajak terhadap total penerimaan dalam negeri mencapai 75,4%.[1]

Dalam APBN, sumber pendapatan lain yang berasal dari iuran masyarakat adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Walaupun ada kecenderungan meningkat, namun persentase penerimaan ini relatif jauh di bawah penerimaan pajak.

B.   Potensi Zakat Bagi Penguatan Keuangan Negara

Indonesia  sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, masih memiliki sumber pendapatan negara yang selama ini terabaikan. Sumber pendapatan tersebut adalah zakat. Zakat dipungut dari orang kaya (mampu menunaikan  zakat) dan selanjutnya didistribusikan kepada orang miskin (dhuafa). Seperti halnya pajak, zakat juga diperoleh dari iuran masyarakat. Namun, antara pajak dan zakat terdapat perbedaan yang signifikan.

Zakat dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda. Pertama, zakat dipandang sebagai amal ibadah yang tidak dapat diabaikan oleh setiap orang Islam. Bahkan, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam. Tidak  ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam hal ini. Dengan demikian, seorang muslim yang melalaikannya dianggap tidak sempurna keimanannya. Kekuatan perintah zakat adalah sama kuatnya dengan perintah sholat, puasa, dan haji. Dengan demikian, maraknya umat Islam dalam berzakat seharusnya sama dengan maraknya umat Islam menunaikan ibadah sholat dan haji. Apabila kemampun materi dijadikan ukuran, maka maraknya umat Islam dalam berzakat minimal sama dengan maraknya mereka dalam menunaikan ibadah haji yang setiap tahun terdapat waiting list. Namun, tidak demikian dalam kenyataannya.

Rendahnya kesadaran umat Islam dalam  berzakat bukannya tanpa alasan. Di antara alasan yang mereka miliki adalah tidak adanya lembaga pengumpul/penyalur (amil) zakat yang mereka percaya. Akibat dari hal ini, mereka yang merasa berkewajiban menunaikan zakat menggelar penyaluran zakat sendiri. Kaum fakir miskin pun dengan antusias antre menunggu uluran tangan para dermawan ini. Tidak jarang dalam kegiatan tersebut timbul keributan dan bahkan menelan korban jiwa. Pihak yang berzakat pun pada gilirannya dapat dijadikan tersangka atas kelalaian mereka yang menimbulkan korban jiwa.

Lembaga amil zakat yang didirikan sekelompok umat Islam memang mulai bermunculan. Rumah Zakat dan Dompet Dhuafa adalah sebagian contoh dari lembaga amil zakat tersebut. Kendatipun demikian, keraguan untuk menyalurkan zakat ke lembaga tersebut masih tetap ada. Sebagian umat Islam masih mempertanyakan bagaimana dan siapa yang melakukan pengawasan terhadap lembaga tersebut. Dalam prinsip keuangan, pengawasan bagi lembaga pengelola keuangan memang mutlak diperlukan untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, alasan lainnya yang kerap muncul adalah kurangnya sosialisasi dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang zakat itu sendiri, mulai dari arti pentingnya, syarat-syaratnya, sampai dengan tata cara dalam menunaikannya.

C.   Peluang Zakat Sebagai Pendapatan Negara.

Uraian di atas menunjukkan adanya peluang bagi negara untuk menjadikan zakat sebagai bagian dari pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peluang ini didasarkan pada beberapa  alasan, antara lain:

1.    Di mata umat Islam, zakat memiliki perbedaan dengan pajak. Perbedaan tersebut terlihat dari dasar dan alasan pemungutannya. Pajak didasarkan pada peraturan perundangan buatan manusia, sedangkan zakat didasarkan pada peraturan agama yang diturunkan oleh Tuhan, yakni Al Quran. Dengan demikian, orang yang telah membayar pajak tidak otomatis dianggap telah membayar zakat. Bagi umat Islam, kepatuhan terhadap perintah zakat memiliki konsekuensi terhadap kehidupan mereka di akhirat. Setiap umat Islam yang telah memiliki kemampuan sebagai orang yang wajib berzakat (muzakki) akan berusaha untuk menunaikan kewajiban tersebut.

2.    Negara merupakan lembaga/organisasi yang dipercaya oleh umat Islam. Hal ini ditunjukkan oleh dukungan umat terhadap keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepercayaan umat terhadap negara menjadi modal untuk menjadi pengelola dana umat (zakat) yang terpercaya. Hal ini dapat menjadi solusi rendahnya kepercayaan umat Islam terhadap lembaga pengelola zakat yang sudah ada.

3.    Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus dapat melayani kebutuhan warga negaranya. Menunaikan perintah zakat adalah kebutuhan bagi warga negara (umat Islam) yang telah berkewajiban menunaikannya. Untuk itu, negara memiliki  kewajiban untuk menyediakan fasilitas bagi umat Islam yang hendak memenuhi kebutuhannya dalam menunaikan zakat. Hal ini dapat dianalogikan dengan pelaksanaan ibadah haji. Pemerintah menyediakan layanan haji bagi umat Islam. Bahkan tugas dan fungsi tersebut ditangani oleh direktorat jenderal tersendiri di lingkungan Kementerian Agama. Jika untuk urusan haji dapat ditangani pemerintah, tentunya urusan zakat juga demikian.

4.    Keberadaan zakat sebagai salah satu sumber pendapatan negara diharapkan dapat membantu keuangan negara dalam pengentasan kemiskinan. Dari tahun ke tahun, pemerintah selalu mengalami tuntutan tugas layanan masyarakat yang semakin berat. Untuk itu dibutuhkan sumber pendanaan APBN yang juga semakin besar. Selama bertahun-tahun, APBN terus mengalami defisit. Program pengentasan kemiskinan pun mengalami kekurangan dana. Kemiskinan tetap menjadi masalah berat bagi negara. Keberadaan zakat sebagai bagian dari APBN diharapkan menjadi jalan keluar bagi pengentasan kemiskinan.

D. Zakat dan Pengentasan Kemiskinan

Kemiskinan di Indonesia terus menjadi masalah yang belum selesai hingga dewasa ini. Data resmi pemerintah yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa di tahun 2010, kemiskinan di Indonesia mencapai angka 31 juta jiwa. Kendatipun sudah sedemikian besar angka kemiskinan yang ada, beberapa tahun yang lalu pernah ramai diberitakan bahwa ada kebohongan terkait dengan angka kemiskinan. Hal ini diketahui setelah angka tersebut dibandingkan dengan angka penerima beras miskin (raskin) yang ternyata jumlahnya dua kali lipat. Perdebatan ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia perlu penanganan yang serius dari semua pihak, bukan hanya pemerintah. Sebagai warga negara, umat Islam perlu dilibatkan dalam penanganan kemiskinan, yakni layanan zakat.

Dalam menghadapi kemiskinan yang terjadi di suatu negara, zakat memiliki konsep yang berbeda dengan pajak. Hal ini dapat diketahui melalui semangat atau motivasi pemungutan  keduanya. Pajak didefinisikan sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum[2]. Sebagai sebuah organisasi yang memiliki tugas melayani masyarakatnya, negara membutuhkan dana untuk melaksanakan aktivitasnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, masyarakat diimbau dengan suka rela menyerahkan sebagian pendapatan/kekayaannya untuk kepentingan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa publik. Pengumpulan pendapatan dari masyarakat tersebut dapat dikategorikan sebagai penerimaan pajak dan bukan pajak[3].

Definisi pajak di atas menunjukkan latar belakang atau alasan dipungutnya pajak adalah untuk membiayai pengeluaran negara dalam menyediakan fasilitas dan jasa publik. Contoh dari hal ini adalah pembangunan jalan, jembatan, penerangan jalan, fasilitas keamanan, dan sebagainya. Sementara itu, tugas pengentasan kemiskinan tidak melatarbelakangi pemungutan pajak. Dengan pemikiran seperti ini, maka dapat dimaklumi apabila penerimaan pajak telah mengalami peningkatan yang berlipat-lipat, tetapi kemiskinan tidak juga segera teratasi. Peningkatan pengeluaran negara pun tidak banyak berpengaruh bagi pengentasan kemiskinan. Pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah pengeluaran pemerintah tercatat sebesar 252.075,16 milyar rupiah. Sedangkan di tahun anggaran 2008 pengeluaran pemerintah tercatat sebesar 1.059.914,13 milyar rupiah. Selama kurun waktu lebih kurang 9 tahun (1999-2008) pengeluaran pemerintah telah meningkat sebesar empat kali lipat. Sementara itu, angka kemiskinan tetap bercokol pada angka di atas 30 juta jiwa. Kemiskinan di tahun 1999 sebesar 48,0 juta jiwa, sedangkan di tahun 2008 sebesar 35,0 juta jiwa.  Peningkatan pengeluaran negara ternyata tidak/belum tentu signifikan dalam mengatasi kemiskinan.

Motivasi pemungutan zakat berbeda dengan pemungutan pajak. Maksud utama pemungutan zakat bukan untuk menyediakan fasilitas umum seperti halnya pajak. Hal ini dapat diketahui dari ayat yang mengatur peruntukan zakat.

“Sesungguhnya zakat itu bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang lemah hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah (menegakkan kebenaran), dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana[4].

Kaum fakir dan miskin mendapatkan prioritas dalam pembagian zakat. Para penerima zakat berikutnya juga merupakan kelompok yang secara ekonomi perlu mendapatkan pertolongan, misalnya para budak dan orang yang memilki utang karena kesempitan ekonomi. Dengan demikian, konsep zakat akan sangat relevan untuk mengatasi kemiskinan. Dalam zakat terdapat konsep yang nyata mengenai redistribusi pendapatan dari kaum kaya kepada kaum miskin. Pemerataan penghasilan dapat dilakukan dengan pelaksanaan zakat.

Keampuhan zakat dalam mengatasi kemiskinan pernah dibuktikan pada masa khalifah Umar bin Khattab. Salah satu provinsi yang ada pada saat itu adalah Yaman. Adalah Muadz bin Jabal (amil zakat di Yaman) pernah mengirimkan hasil pengumpulan zakatnya kepada Khalifah Umar karena tidak ditemukan lagi orang miskin di Yaman. Khalifah Umar pun menolaknya dan berkata: “Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz pun menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apapun kepada Anda”.[5]

Negara Indonesia sangat berkepentingan untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan, terwujudnya masyarakat yang makmur dan sejahtera adalah tujuan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Kelebihan lain yang dimiliki oleh zakat adalah adanya nilai religi di dalamnya. Warga negara yang memang berkewajiban untuk membayar zakat tidak akan berusaha untuk menghindarinya karena mereka yakin Tuhan selalu mengawasinya. Demikian juga dengan pengelolaannya, pengelola zakat akan berusaha amanah karena mereka juga merasa diawasi Tuhan. Pengelola zakat akan menyampaikan zakat tersebut kepada yang berhak menerimanya, kaum fakir, miskin, dan sebagainya. Perbuatan korupsi akan selalu dihindari.

E.   Saran: Zakat Berdampingan Dengan Pajak

Pemungutan zakat bukan dimaksudkan untuk mengecilkan arti pajak dalam keuangan negara. Tugas negara dalam memberikan layanan fasilitas umum tetap harus dijalankan. Sesuai dengan filosofi pemungutannya, pajak dimaksudkan untuk itu sehingga penerimaannya tetap harus ditingkatkan. Di samping itu, dengan tersedianya fasilitas umum maka perekonomian nasional akan terdorong kemajuan dan pertumbuhannya.

Di sisi yang lain, zakat akan mengisi ruang kosong yang tidak/kurang mendapatkan perhatian dalam pengelolaan pajak, yaitu pemerataan pendapatan. Redistribusi pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin adalah peran utama yang dijalankan oleh konsep zakat. Pajak berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan zakat berkontribusi pada pemerataan penghasilan atau kekayaan.

Dengan memperhatikan pemikiran di atas, perlu kiranya pemerintah mewacanakan menjadikan zakat sebagai salah satu pendapatan negara dalam APBN. Dewasa ini telah terbit Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, namun undang-undang tersebut tidak dimaksudkan untuk menjadikan zakat sebagai sumber keuangan negara.

Turut sertanya pemerintah dalam pengelolaan zakat bukan semata-mata untuk kepentingan negara guna memperkuat keuangan negara dan mengatasi kemiskinan. Peran serta tersebut juga dimaksudkan untuk melayani warga negara (umat Islam) yang ingin menunaikan kewajiban agamanya. Pemerintah telah memberikan perhatian besar terhadap pelaksanaan ibadah haji. Tentunya, hal ini dapat diterapkan juga dalam pelaksanaan ibadah zakat. Sebagai negara demokrasi dengan penduduk mayoritas beragama Islam, tidaklah berlebihan apabila negara ini dapat melayani kebutuhan umat Islam dalam berzakat.


[1]Majalah Edukasi Keuangan edisi 9/2011. Hal 31

[2]Rochmat Sumitro dalam Mardiasmo (2002). Perpajakan. Hal.  1

[3]Tim Penyusun BPPK, 2004. Dasar-Dasar Keuangan Publik. Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah, BPPK, Departemen Keuangan RI. Hal  117

[4] Al Quran Surat Attaubah: 60

[5]Pengelolaan Zakat di Masa Khalifah Umar. 2011. http://voa-khilafah.blogspot.com

Leave a comment